Tuesday, 23 December 2014

assalamualaikum..... terimaakasih ust pojok apis telah di masukkan grup ini...
semoga bermanfaat....
ada sedikit pertanyaan....
katanya hukum tahadats binikmah itu sunah...?
manfaay nya atau gunanya itu biar apa za....?
krna setau q kadang" itu malah menimbulkan sifat iri pada orang lain...
mator suwun 

jawaban

Pojok Apis Sanangondang Firman Allah, yang artinya “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka
hendaklah kamu (Muhammad) siarkan“. (Qs. Ad-Dhuhaa: 11)
Ibnu Katsir mengemukakan dalam kitab

tafsirnya, berdasarkan korelasi ayat per ayat dalam surah Ad-Dhuha, “Bukankah
Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia
mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberimu petunjuk. Dan Dia
mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.
Oleh karena itu, siarkanlah segala jenis kenikmatan tersebut dengan memujinya,
mensyukurinya, menyebutnya, dan menceritakannya sebagai bentuk i’tiraf
(pengakuan) atas seluruh nikmat tersebut.”
Para ulama tafsir sepakat bahwa
pembicaraan ayat ini dalam konteks mensyukuri nikmat yang lebih tinggi dalam
bentuk sikap dan implementasinya. Az-Zamakhsyari, misalnya, memahami tahadduts bin ni’mah
dalam arti mensyukuri segala nikmat yang dianugerahkan oleh Allah dan
menyiarkannya. Lebih luas lagi Abu Su’ud menyebutkan, tahadduts bin ni’mah
berarti mensyukuri nikmat, menyebarkannya, menampakkan nikmat, dan
memberitahukannya kepada orang lain.
Ibnul Qayyim dalam bukunya Madrijus Salikin
mengemukakan korelasi makna antara memuji dan menyebut nikmat. Menurut beliau,
memuji pemberi nikmat bisa dibagikan dalam dua bentuk: memuji secara umum dan
memuji secara khusus. Memuji secara umum adalah dengan memuji sang pemberi
nikmat sebagai yang dermawan, baik dan luas pemberiannya. Sedangkan memuji yang
bersifat khusus adalah dengan memberitahukan dan menceritakan kenikmatan
tersebut. Sehingga tahadduts
bin ni’mat merupakan bentuk tertinggi dari memuji Allah Zat Pemberi
nikmat.
Beberapa ulama salaf
menganjurkan agar memberitahukan kebaikan yang dilakukan oleh seseorang jika ia
mampu menghindarkan diri dari sifat riya’ dan agar bisa dijadikan contoh oleh
orang lain. Sehingga secara hukum, tahadduts
bin ni’mah dapat dibagi kepada dua kategori: jika terhindar dari
fitnah riya’, ujub, dan tidak akan memunculkan kedengkian pada orang lain, maka
sangat dianjurkan untuk menyebut dan menceritakan kenikmatan yang diterima oleh
seseorang.
Namun, jika hal itu akan menimbulkan rasa
dengki, dan untuk menghindarkan kerusakan akibat kedengkian dan tipu muslihat
orang lain, maka menyembunyikan nikmat dalam hal ini bukan termasuk sikap kufur
nikmat. Imam Asy-Syaukani berpendapat
bahwa tahadduts
bin ni’mah bukan termasuk bagian dari tafaakhur (berbangga-bangga)
maupun takabbur yang sangat dibenci oleh Allah swt.
Sebagaimana dalam firmanNya, “Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”. (Qs. Luqman: 18)
Kitab Kuning Menjawab

Advertisement


EmoticonEmoticon