Saturday 14 February 2015

Membaca Surat-Surat Pendek Ketika Menstruasi/Haidl

Assalamu'alaikum
mau tanya
gmn hukum nya klu menstruasi kita baca surat" pendek seperti ,,al falaq, al ikhlas ,al anas dan ayat kursi sebelum tidur ,,,krn udh jd kebiasaan saya sebelum tidur selalu baca itu ,,apakah saya berdosa krn membaca al Qur'an di saat kotor ,,,


NA Kami NerashUke 
 ni ada kterangan dr grup sbelah. monggo dibaca sampai habis, karena bnyak perbedaan pndapat ulama ...

Mengenai hukum wanita haidh membaca al-Qur'an, berikut uraian selengkapnya dari kitab Hasyiyah al-Bujairimi 'ala al-Iqna' karya Sulaiman bin Umar bin Muhammad al-Bujairimi:
( وَ ) الثَّالِثُ ( قِرَاءَةُ ) شَيْءٍ مِنْ ( الْقُرْآنِ ) بِاللَّفْظِ أَوْ بِا
لْإِشَارَةِ مِنْ الْأَخْرَسِ كَمَا قَالَ الْقَاضِي فِي فَتَاوِيهِ ، فَإِنَّهَا مُنَزَّلَةٌ مَنْزِلَةَ النُّطْقِ هُنَا وَلَوْ بَعْضَ آيَةٍ لِلْإِخْلَالِ بِالتَّعْظِيمِ ، سَوَاءٌ أَقَصَدَ مَعَ ذَلِكَ غَيْرَهَا أَمْ لَا لِحَدِيثِ التِّرْمِذِيِّ وَغَيْرِهِ : { لَا يَقْرَأْ الْجُنُبُ وَلَا الْحَائِضُ شَيْئًا مِنْ الْقُرْآنِ }

الشَّرْحُ
قَوْلُهُ : ( وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ ) وَعَنْ مَالِكٍ : يَجُوزُ لَهَا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ ، وَعَنْ الطَّحَاوِيِّ يُبَاحُ لَهَا مَا دُونَ الْآيَةِ كَمَا نَقَلَهُ فِي شَرْحِ الْكَنْزِ مِنْ كُتُبِ الْحَنَفِيَّةِ
"Keharaman sebab haid yang ketiga adalah membaca sesuatu dari al-Qur’an, dengan diucapkan atau dengan isyarah dari orang bisu, seperti yang dikatakan Qadhi Husein dalam Fatawinya. Mengingat konteks isyarah diletakkan pada konteksnya hukum berucap pada permasalahan ini, meskipun yang dibaca hanyalah sebagian ayat saja dikarenakan hal itu menunjukkan pada unsur penghinaan. Baik bacaan itu diniati bersama dengan niat yang lain ataupun tidak, berdasarkan hadits riwayat Tirmidzi dan lainnya, “Orang yang sedang junub dan orang yang haid tidak diperbolehkan membaca sesuatu dari al-Qur’an.
Komentar pensyarah: [Membaca al-Qur’an] dari Imam Malik dijelaskan bahwa diperbolehkan bagi perempuan haid membaca al-Qur’an. Dan dari Ath-Thahawi diterangkan bahwa diperbolehkan
bagi dia untuk membaca al-Qur’an namun kurang dari satu ayat, seperti
yang dia kutipkan dalam Syarah Al-Kanzu dari kitabnya mazhab Hanafi."
(Hasyiyah Bujairimi, 3/259-261)



تَنْبِيهٌ : يَحِلُّ لِمَنْ بِهِ حَدَثٌ أَكْبَرُ أَذْكَارُ الْقُرْآنِ وَغَيْرُهَا
كَمَوَاعِظِهِ وَأَخْبَارِهِ وَأَحْكَامِهِ لَا بِقَصْدِ الْقُرْآنِ
كَقَوْلِهِ عِنْدَ الرُّكُوبِ : { سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا

وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ } أَيْ مُطِيقِينَ ، وَعِنْدَ الْمُصِيبَةِ :
{ إنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إلَيْهِ رَاجِعُونَ } وَمَا جَرَى بِهِ
لِسَانُهُ بِلَا قَصْدٍ فَإِنْ قَصَدَ الْقُرْآنَ وَحْدَهُ أَوْ مَعَ
الذِّكْرِ حُرِّمَ ، وَإِنْ أَطْلَقَ فَلَا .
كَمَا
نَبَّهَ عَلَيْهِ النَّوَوِيُّ فِي دَقَائِقِهِ لِعَدَمِ الْإِخْلَالِ
بِحُرْمَتِهِ ؛ لِأَنَّهُ لَا يَكُونُ قُرْآنًا إلَّا بِالْقَصْدِ قَالَهُ
النَّوَوِيُّ وَغَيْرُهُ ، وَظَاهِرُهُ أَنَّ ذَلِكَ جَارٍ فِيمَا يُوجَدُ
نَظْمُهُ فِي غَيْرِ الْقُرْآنِ كَالْآيَتَيْنِ الْمُتَقَدِّمَتَيْنِ
وَالْبَسْمَلَةِ وَالْحَمْدَلَةِ ، وَفِيمَا لَا يُوجَدُ نَظْمُهُ إلَّا
فِيهِ كَسُورَةِ الْإِخْلَاصِ وَآيَةِ الْكُرْسِيِّ ، وَهُوَ كَذَلِكَ ،
وَإِنْ قَالَ الزَّرْكَشِيّ : لَا شَكَّ فِي تَحْرِيمِ مَا لَا يُوجَدُ
نَظْمُهُ فِي غَيْرِ الْقُرْآنِ ، وَتَبِعَهُ عَلَى ذَلِكَ بَعْضُ
الْمُتَأَخِّرِينَ كَمَا شَمِلَ ذَلِكَ قَوْلَ الرَّوْضَةِ ، أَمَّا إذَا
قَرَأَ شَيْئًا مِنْهُ لَا عَلَى قَصْدِ الْقُرْآنِ فَيَجُوزُ .

الشَّرْحُ
قَوْلُهُ
: ( تَنْبِيهٌ إلَخْ ) هَذَا التَّنْبِيهُ بِمَنْزِلَةِ قَوْلِهِ مَحَلُّ
حُرْمَةِ الْقِرَاءَةِ إذَا كَانَتْ بِقَصْدِ الْقُرْآنِ أَوْ بِقَصْدِ
الْقُرْآنِ وَالذِّكْرِ ، و َإِلَّا فَلَا حُرْمَة .
قَوْلُهُ
: ( يَحِلُّ إلَخْ ) كَلَامُهُ فِي الْحَائِضِ وَالنُّفَسَاءِ فَدُخُولُ
غَيْرِهِمَا مَعَهُمَا اسْتِطْرَادِيٌّ تَأَمَّلْ ق ل .
قَوْلُهُ : ( كَمَوَاعِظِهِ ) أَيْ مَا فِيهِ تَرْغِيبٌ أَوْ تَرْهِيبٌ .
قَوْلُهُ : ( وَأَخْبَارِهِ ) أَيْ عَنْ الْأُمَمِ السَّابِقَةِ .
قَوْلُهُ : ( وَأَحْكَامِهِ ) أَيْ مَا تَعَلَّقَ بِفِعْلِ الْمُكَلَّف .

قَوْلُهُ : ( وَمَا جَرَى بِهِ لِسَانُهُ بِلَا قَصْدٍ ) بِأَنْ سَبَقَ لِسَانُهُ إلَيْهِ .
قَوْلُهُ
: ( وَإِنْ أَطْلَقَ فَلَا ) كَمَا لَا يَحْرُمُ إذَا قَصَدَ الذِّكْرَ
فَقَطْ ، فَالصُّوَرُ أَرْبَعَةٌ يَحِلُّ فِي ثِنْتَيْنِ ، وَيَحْرُمُ فِي
ثِنْتَيْنِ وَأَمَّا لَوْ قَصَدَ وَاحِدًا لَا بِعَيْنِهِ فَفِيهِ خِلَافٌ ،
وَالْمُعْتَمَدُ الْحُرْمَةُ ؛ لِأَنَّ الْوَاحِدَ الدَّائِرَ صَادِقٌ
بِالْقُرْآنِ فَيَحْرُمُ لِصِدْقِهِ بِهِ . قَوْلُهُ : ( لَا يَكُونُ
قُرْآنًا إلَخْ ) أَيْ لَا يَكُونُ قُرْآنًا تَحْرُمُ قِرَاءَتُهُ عِنْدَ
وُجُودِ الصَّارِفِ إلَّا بِالْقَصْدِ ، وَإِلَّا فَهُوَ قُرْآنٌ مُطْلَقًا
، أَوْ الْمَعْنَى لَا يُعْطَى حُكْمَ الْقُرْآنِ إلَّا بِالْقَصْدِ ،
وَمَحَلُّهُ مَا لَمْ يَكُنْ فِي صَلَاةٍ كَأَنْ أَجْنَبَ وَفَقَدَ
الطَّهُورَيْنِ وَصَلَّى لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ بِلَا طُهْرٍ ، وَقَرَأَ
الْفَاتِحَةَ ، فَلَا يُشْتَرَطُ قَصْدُ الْقُرْآنِ ، بَلْ يَكُونُ
قُرْآنًا عِنْدَ الْإِطْلَاقِ لِوُجُوبِ الصَّلَاةِ عَلَيْهِ فَلَا صَارِفَ
فَاحْفَظْهُ وَاحْذَرْ خِلَافَهُ كَمَا ذَكَرَهُ ابْنُ شَرَفٍ عَلَى
التَّحْرِيرِ .
 
"(Tanbih): Diperbolehkan bagi orang yang mempunyai hadats besar untuk membaca
dzikir al-Qur’an dan yang lainnya, seperti mauizhahnya, cerita, dan
hukum yang ada di dalam al-Qur’an, dengan tidak diniatkan pada

al-Qur’annya. Seperti perkataanya ketika naik kendaraan, (سبحان الذي سخر
لنا هذا و ما كنا له مقرنين) dan ketika mendapat musibah dia mengucapkan
(إنا لله و إنا اليه راجعون). Serta pada apa yang tanpa dikehendaki
terucap oleh lisannya. Namun jika dia memaksudkan al-Qur’an saja atau
memaksudkan al-Qur’an beserta dzikirnya, maka diharamkan. Kemudian jika
dia memutlakkannya maka tidak diharamkan, sesuai dengan peringatan
an-Nawawi dalam kitab Daqaiq, sebab tidak ada unsur penghinaan pada
kemuliaan al-Qur'an di sini. Memandang bahwasanya al-Qur'an tidak akan
diberlakukan hukum al-Qur'an kecuali ketika dengan wujudnya niat.
Secara
zahir pendapat tersebut berlaku baik pada ayat yang bisa ditemukan
susunan kalimatnya di luar al-Qur'an semisal dua ayat di atas, juga
basmalah dan al-fatihah. Serta pada ayat yang tidak akan ditemukan
susunan kalimatnya selain di al-Qur'an semisal surat al-Ikhlas dan ayat
kursi. Benarlah demikian, meski az-Zarkasyi berpendapat tidak
diragukannya keharaman pada ayat yang tidak akan ditemukan susunan
kalimatnya selain di al-Qur'an. Pendapat az-Zarkasyi ini dianut oleh
sebagian ulama mutaakhirin.
Keterangan
an-Nawawi tentang kemutlakan tersebut juga terkandung dalam kitab
ar-Raudhah. Sedangkan ketika membaca al-Qur'an itu tidak diniatkan pada
membaca al-Qur'annya maka diperbolehkan.

Komentar pensyarah:
[Tanbih dst.] Tanbih ini menempati perkataan mushannif,
“Tempat keharaman membaca al-Qur’an adalah ketika dalam pembacaan itu
dengan maksud al-Qur’an atau dengan maksud al-Qur’an dan dzikir. Jika
tidak memaksudkan dengan itu semua maka tidak diharamkan."
[Diperbolehkan
dst.] Pembahasan penulis tentang wanita haidh dan nifas, namun bisa
dikonfirmasikan juga pembahasan selain keduanya. Cermatilah.
(al-Qulyubi)

[Seperti mauizhah] Yakni perkara tentang anjuran dan ancaman.

[Cerita] Yakni dari kisah umat terdahulu.
[Dan hukum yang ada di dalam al-Qur'an] Yakni perkara yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf.
[Serta pada apa yang tanpa dikehendaki terucap oleh lisannya] Dengan kelepasan bicara.
[Kemudian
jika dia memutlakkannya maka tidak diharamkan] Sebagaimana tidak pula
diharamkan ketika diniatkan pada dzikirnya saja. Sehingga bisa
disimpulkan ada empat situasi pembacaan al-Qur'an di sini. Dua
diperbolehkan, dan dua lainnya diharamkan.
Sedangkan
ketika dia meniatkan pada salah satunya namun tanpa dijelaskan yang
mana maka hukumnya khilaf. Menurut qaul Mu'tamad dihukumi haram. Sebab
unsur salah satunya bisa dimungkinkan niat pada al-Qur'annya sehingga
diharamkan memandang adanya kemungkinan tersebut. [Al-Qur'an tidak akan
diberlakukan
hukum al-Qur'an dst.] Yakni ketika muncul qarinah pembeda maka tidak
dianggap sebagai al-Qur'an yang haram dibaca kecuali dengan wujudnya
niat. Atau bisa juga diartikan tidak diberlakukan hukum al-Qur'an kecuali dengan wujudnya niat. Konteks ini mengesampingkan
pada kasus shalat, semisal pada orang junub yang tidak bisa bersuci
dengan wudhu dan tayammum, lantas dia shalat li hurmatil waqti, membaca
al-Fatihah,
maka tidak berlaku persyaratan niat membaca al-Qur'an. Bahkan tetap
dianggap sebagai hukum bacaan al-Qur'an ketika dimutlakkan sebab tidak
ada qarinah pembeda di sini. Camkanlah dan hati-hati terhadap
kesalahpahaman tentang hal itu, sebagaimana dituturkan oleh an-Nawawi
dalam kitab at-Tahrir." (Hasyiyah al-Bujairimi, 1/259-264
 
Elaborasi tentang khilafiyah Imam Malik dituturkan dalam kitab al-Mausu'ah:
وَذَهَبَ الْمَالِكِيَّةُ إِلَى أَنَّ الْحَائِضَ يَجُوزُ لَهَا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ فِي حَال اسْتِرْسَال الدَّمِ مُطْلَقًا ، كَانَتْ جُنُبًا أَمْ لاَ ، خَافَتِ النِّسْيَانَ أَمْ
لاَ . وَأَمَّا إِذَا انْقَطَعَ حَيْضُهَا ، فَلاَ تَجُوزُ لَهَا الْقِرَاءَةُ حَتَّى تَغْتَسِل جُنُبًا كَانَتْ أَمْ لاَ ، إِلاَّ أَنْ تَخَافَ النِّسْيَانَ .
هَذَا هُوَ الْمُعْتَمَدُ عِنْدَهُمْ ، لأَنَّهَا قَادِرَةٌ عَلَى التَّطَهُّرِ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ ، وَهُنَاكَ قَوْلٌ ضَعِيفٌ هُوَ أَنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا انْقَطَعَ حَيْضُهَا جَازَ لَهَا الْقِرَاءَةُ إِنْ لَمْ تَكُنْ جُنُبًا قَبْل الْحَيْضِ . فَإِنْ كَانَتْ جَنْبًا قَبْلَهُ فَلاَ تَجُوزُ لَهَا الْقِرَاءَةُ .
"Kalangan malikiyah berpendapat bahwa wanita haidh diperbolehkan
membaca al-Qur'an di masa sedang keluarnya darah haidh secara mutlak,
baik disertai junub maupun tidak, entah karena khawatir lupa ataupun
tidak. Sedangkan di masa darah haidh sedang berhenti maka tidak
diperbolehkan membaca al-Qur'an sampai dia mandi bersuci, baik kondisinya disertai junub maupun tidak, kecuali bila khawatir lupa (maka boleh membaca, pen).
Pendapat di atas adalah qaul mu'tamad, sebab seorang wanita
dipandang mampu bersuci dalam kondisi darah sedang berhenti tersebut.
Namun dalam hal ini ada qaul dha'if yang berpendapat seorang wanita ketika darahnya sedang berhenti tetap diperbolehkan membaca al-Qur'an asalkan kondisinya tidak disertai junub sebelum haidh. Ketika sebelum haidh telah disertai junub maka tidak diperbolehkan membaca al-Qur'an (sampai dia mandi bersuci, pen)" (al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwatiyyah, 18/322)
Kesimpulan:
Dalam mazhab syafi'iyah terdapat tujuh pembahasan yang berkaitan dengan hukum wanita haidh membaca al-Qur'an:
- Bila membaca al-Qur'an diniati untuk membaca al-Qur'annya maka haram.
- Bila membaca al-Qur'an diniati untuk membaca al-Qur'annya besertaan niat lainnya maka juga dihukumi haram.
- Bila membaca al-Qur'an diniati selain untuk membaca al-Qur'an seperti untuk menjaga hafalan, membaca zikirnya, kisah-kisah, mauizah, hukum-hukum, maka diperbolehkan.
- Bila membaca al-Qur'an karena kelepasan bicara maka diperbolehkan.
- Bila membaca al-Qur'an diniati secara mutlak, yakni sekedar ingin membaca tanpa niat tertentu maka diperbolehkan.
- Bila membaca al-Qur'an diniati secara mutlak atau niat selain al-Qur'an, namun yang dibaca adalah susunan kalimat khas al-Qur'an atau satu surat panjang atau keseluruhan al-Qur'an maka khilaf. Menurut an-Nawawi, ar-Ramli Kabir, dan Ibnu Hajar diperbolehkan, sedangkan bagi az-Zarkasyi dan as-Suyuthi diharamkan. - Bila membaca al-Qur'an diniatkan pada salah satunya tanpa dijelaskan yang mana maka khilaf. Menurut qaul mu'tamad diharamkan sebab adanya kemungkinan niat pada bacaan al-Qur'an.
Sedangkan dalam mazhab malikiyah boleh bagi wanita haidh membaca al-Qur'an. Lebih jelasnya tentang hal ini terdapat dua pembahasan:
- Boleh secara mutlak, yakni ketika membacanya dalam kondisi darah haidh sedang merembes keluar. - Tidak diperbolehkan sebelum mandi hadats, yakni ketika membacanya
dalam kondisi darah haidh sedang mampet. Kecuali bila khawatir lupa,
atau kecuali dengan menengok pada qaul dha'if yang memperbolehkannya asalkan haidhnya tidak disertai junub.

Wallahu subhanahu wata'ala a'lam.
 
Kitab Kuning Menjawab

Advertisement


EmoticonEmoticon