Hamil Diluar Nikah Seharusnya Cepat Untuk Menikah
Asslkm...mw
txa,kalau ada orang hamil diluar nikah,truz laki2 yang menghamili mau
menikahinya itu lebih baik seceptnya dinikahi ato nunggu anak x lahir
dulu?
Alfaqir Ilaih Secara spesifik sebenarnya ada lima pendapat berbeda tentang hukum menikahi wanita pezina: 1. Mutlak tidak sah. Didukung oleh Ali, Aisyah, dan Bara’ ibn ‘Azib. Serta masing-masing satu riwayat Abu Bakar, Umar, Ibnu Mas’ud, dan Hasan Bashri (al-Hawi al-Kabir 9/492-493, al-Mughni Ibnu Qudamah 7/518, Tafsir al-Alusi 13/326). Pandangan ini didasarkan pada QS. An-Nur: 3, yakni ﺍﻟﺰَّﺍﻧِﻲ ﻟَﺎ ﻳَﻨْﻜِﺢُ ﺇِﻟَّﺎ ﺯَﺍﻧِﻴَﺔً ﺃَﻭْ ﻣُﺸْﺮِﻛَﺔً ﻭَﺍﻟﺰَّﺍﻥِﻳَﺔُ ﻟَﺎ ﻳَﻨْﻜِﺤُﻪَﺍ ﺇِﻟَّﺎ ﺯَﺍﻥٍ ﺃَﻭْ ﻣُﺸْﺮِﻙٌ ﻭَﺣُﺮِّﻡَ ﺫَﻟِﻚَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻦَﻦﻳِ “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki- laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.” 2. Mutlak sah. Didukung oleh asy-Syafi’ie dan madzhabnya (al- Hawi al-Kabir 9/497-498). Kalangan Syafi’iyah berargumen pada ayat 24 QS. An-Nisa: ﻭَﺃُﺣِﻞَّ ﻟَﻜُﻢْ ﻣَﺎ ﻭَﺭَﺍﺀَ ﺫَﻟِﻜُﻢْ “Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian.” Ayat an-Nisa itu turun setelah menjelaskan wanita-wanita yang haram dinikahi. Dengan demikian selain wanita yang telah disebutkan halal untuk dinikahi, termasuk wanita yang berzina. Dikuatkan dengan sabda Nabi SAW: ﻟَﺎ ﻳُﺤَﺮِّﻡُ ﺍﻟْﺤَﺮَﺍﻡُ ﺍﻟْﺤَﻠَﺎﻝَ “Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan/menjadikan mahram pada (orang) yang halal” (HR. ibnu Majah dan Baihaqi). Abu Bakar berkata: Bila seseorang menzinai wanita lain maka tidak haram bagi orang itu untuk menikahinya. Sedangkan mengenai Surat an-Nur ayat 3, al- Mawardi (al-Hawi al-Kabir 9/494) menyebut ada tiga takwilan terhadap ayat ini: - Ayat itu turun khusus pada kisah Ummu Mahzul, yakni ketika ada seorang laki-laki meminta izin Rasulullah akan wanita pelacur bernama Ummu Mahzul. - Ibnu Abbas mengartikan kata ‘yankihu’ dengan ‘bersetubuh’, sehingga maksud ayat tersebut: “Laki-laki yang berzina tidak bersetubuh melainkan (dengan) perempuan yang berzina…dst.” - Menurut Sa’id ibn Musayyab telah dinasakh oleh QS. An-Nisa ayat 3: ﻓَﺎﻧْﻜِﺤُﻮﺍ ﻣَﺎ ﻃَﺎﺏَ ﻟَﻜُﻢْ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀِ “Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.” 3. Sah dengan syarat selama menikah tidak berhubungan badan dengan istri sampai dia melahirkan. Didukung oleh Abu Hanifah dalam satu riwayat (asy- Syarh al-Kabir 7/502-503, al-Hawi al-Kabir 9/497-498). Abu Hanifah berargumen meskipun sah dinikahi, tapi tidak boleh disetubuhi sebelum melahirkan. Termaktub dalam hadits: ﻟَﺎ ﺗَﺴْﻖِ ﺑِﻤَﺎﺋِﻚَ ﺯَﺭْﻉَ ﻏَﻴْﺮِﻙَ “Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan air (mani)nya ke tanaman [35] orang lain” (HR. Abu Dawud dan Ahmad). 4. Sah dengan syarat menikahnya dilakukan setelah wanita melahirkan (istibra’). Didukung oleh Rabi’ah, Sufyan Tsauri, Malik, Auza’ie, Ibnu Syubrumah, Abu Yusuf, dan Abu Hanifah dalam riwayat yang lain (al-Hawi al-Kabir 9/497-498, asy- Syarh al-Kabir 7/502-503). Mereka berpendapat wanita hamil zina memiliki iddah sehingga haram dinikahi sebelum selesai iddahnya. Dalil mereka adalah QS. Ath-Thalaq ayat 4: ﻭَﺃُﻭﻟَﺎﺕُ ﺍﻟْﺄَﺣْﻤَﺎﻝِ ﺃَﺟَﻠُﻬُﻦَّ ﺃَﻥْ ﻳَﻀَﻌْﻦَ ﺣَﻤْﻠَﻬُﻦّ َ “Dan perempuan-perempuan yang hamil itu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan.” Disebutkan juga dalam hadits: ﺃَﻟَﺎ ﻟَﺎ ﺗُﻮﻃَﺄُ ﺣَﺎﻣِﻞٌ ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﻀَﻊَ ﻭَﻟَﺎ ﻏَﻴْﺮَ ﺫَﺍﺕِ ﺣَﻤْﻞٍ ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﺤِﻴﺾَ “Ingatlah, tidak disetubuhi wanita hamil hingga ia melahirkan dan tidak juga pada wanita yang tidak hamil sampai satu kali haidh” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan Ad-Darimi). 5. Sah dengan syarat menikahnya dilakukan setelah wanita istibra’ plus telah bertaubat. Didukung oleh Abu Ubaidah, Qatadah, Ahmad ibn Hanbal, dan Ishaq (al-Hawi al-Kabir 9/492-493, Tafsir Ibnu Katsir 6/9-10). Ibnu Qudamah (Syarhu Kabir 7/504) menjelaskan bahwa sesuai bunyi terakhir ayat 3 surat An-Nur, ‘wa hurrima dzalika ‘alal mukminin’, keharaman menikahi pezina diperuntukkan bagi orang mukmin (yang sempurna). Sehingga ketika telah bertaubat dari zina leburlah dosa, kembali menjadi bagian dari orang-orang mukmin, dan hukum haram baru bisa terhapus. Sebagaimana hadits: ﺍﻟﺘﺎﺋﺐ ﻣﻦ ﺍﻟﺬﻧﺐ ﻛﻤﻦ ﻻ ﺫﻧﺐ ﻟﻪ “Seorang yang telah bertaubat dari dosa itu layaknya tidak ada dosa padanya” (HR. Hakim, Ibnu Majah, Thabrani, dan Baihaqi). Ibnu Umar pernah ditanya tentang seorang laki- laki yang berzina dengan seorang perempuan, apakah boleh dia menikahinya ? Jawab Ibnu Umar, “Jika keduanya telah bertaubat dan keduanya berbuat kebaikan (yakni beramal shalih)” (Al-Muhalla 9/ 475). Dalam hal ini tidak ada perbedaan apakah wanita tersebut dinikahi oleh laki-laki yang menzinai ataupun orang lain. Dari sudut pandang Syafi’iyah karena hamil hasil zina tidak ada kehormatan apapun yang perlu dijaga seperti percampuran nasab. Dari perspektif ulama lainnya karena telah disyaratkan tidak adanya hubungan badan. Tersebut dalam Bughyah: ( ﻣﺴﺄﻟﺔ : ﻱ ﺵ ( : ﻳﺠﻮﺯ ﻧﻜﺎﺡ ﺍﻟﺤﺎﻣﻞ ﻣﻦ ﺍﻟﺰﻧﺎ ﺳﻮﺍﺀ ﺍﻟﺰﺍﻧﻲ ﻭﻏﻴﺮﻩ ﻭﻭﻃﺆﻫﺎ ﺣﻴﻨﺌﺬ ﻣﻊ ﺍﻟﻜﺮﺍﻫﺔ. ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ : ﺑﻐﻴﺔ ﺍﻟﻤﺴﺘﺮﺷﺪﻳﻦ ﺹ419
NA Kami NerashUke sebaiknya secepatnya untuk dinikahi,
sebab jika jarak antara prnikahan dan lahirnya sang anak kurang dr 6 bulan mka anak tsb nasabnya ke ibu, artinya dia tdk punya nasab secara syar'i dan nnti kalo menikah yg menikahkan adalah pihak pemerintah(hakim)
namun jika jarak kelahirannya lbh dr 6 bulan mka ayah yg menikahi ibunya itu mnjadi wali nasab yg sah secara syar'i
ibarot
Ghayatut Talkhis 246
غاية التلخيص: نكح حاملا من الزنا فأتت بولد لزمن إمكان وطئه منه بأن ولدت لستة أشهر ولحظتين من عقده وإمكان وطئه لحقه
Alfaqir Ilaih Secara spesifik sebenarnya ada lima pendapat berbeda tentang hukum menikahi wanita pezina: 1. Mutlak tidak sah. Didukung oleh Ali, Aisyah, dan Bara’ ibn ‘Azib. Serta masing-masing satu riwayat Abu Bakar, Umar, Ibnu Mas’ud, dan Hasan Bashri (al-Hawi al-Kabir 9/492-493, al-Mughni Ibnu Qudamah 7/518, Tafsir al-Alusi 13/326). Pandangan ini didasarkan pada QS. An-Nur: 3, yakni ﺍﻟﺰَّﺍﻧِﻲ ﻟَﺎ ﻳَﻨْﻜِﺢُ ﺇِﻟَّﺎ ﺯَﺍﻧِﻴَﺔً ﺃَﻭْ ﻣُﺸْﺮِﻛَﺔً ﻭَﺍﻟﺰَّﺍﻥِﻳَﺔُ ﻟَﺎ ﻳَﻨْﻜِﺤُﻪَﺍ ﺇِﻟَّﺎ ﺯَﺍﻥٍ ﺃَﻭْ ﻣُﺸْﺮِﻙٌ ﻭَﺣُﺮِّﻡَ ﺫَﻟِﻚَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻦَﻦﻳِ “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki- laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.” 2. Mutlak sah. Didukung oleh asy-Syafi’ie dan madzhabnya (al- Hawi al-Kabir 9/497-498). Kalangan Syafi’iyah berargumen pada ayat 24 QS. An-Nisa: ﻭَﺃُﺣِﻞَّ ﻟَﻜُﻢْ ﻣَﺎ ﻭَﺭَﺍﺀَ ﺫَﻟِﻜُﻢْ “Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian.” Ayat an-Nisa itu turun setelah menjelaskan wanita-wanita yang haram dinikahi. Dengan demikian selain wanita yang telah disebutkan halal untuk dinikahi, termasuk wanita yang berzina. Dikuatkan dengan sabda Nabi SAW: ﻟَﺎ ﻳُﺤَﺮِّﻡُ ﺍﻟْﺤَﺮَﺍﻡُ ﺍﻟْﺤَﻠَﺎﻝَ “Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan/menjadikan mahram pada (orang) yang halal” (HR. ibnu Majah dan Baihaqi). Abu Bakar berkata: Bila seseorang menzinai wanita lain maka tidak haram bagi orang itu untuk menikahinya. Sedangkan mengenai Surat an-Nur ayat 3, al- Mawardi (al-Hawi al-Kabir 9/494) menyebut ada tiga takwilan terhadap ayat ini: - Ayat itu turun khusus pada kisah Ummu Mahzul, yakni ketika ada seorang laki-laki meminta izin Rasulullah akan wanita pelacur bernama Ummu Mahzul. - Ibnu Abbas mengartikan kata ‘yankihu’ dengan ‘bersetubuh’, sehingga maksud ayat tersebut: “Laki-laki yang berzina tidak bersetubuh melainkan (dengan) perempuan yang berzina…dst.” - Menurut Sa’id ibn Musayyab telah dinasakh oleh QS. An-Nisa ayat 3: ﻓَﺎﻧْﻜِﺤُﻮﺍ ﻣَﺎ ﻃَﺎﺏَ ﻟَﻜُﻢْ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀِ “Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.” 3. Sah dengan syarat selama menikah tidak berhubungan badan dengan istri sampai dia melahirkan. Didukung oleh Abu Hanifah dalam satu riwayat (asy- Syarh al-Kabir 7/502-503, al-Hawi al-Kabir 9/497-498). Abu Hanifah berargumen meskipun sah dinikahi, tapi tidak boleh disetubuhi sebelum melahirkan. Termaktub dalam hadits: ﻟَﺎ ﺗَﺴْﻖِ ﺑِﻤَﺎﺋِﻚَ ﺯَﺭْﻉَ ﻏَﻴْﺮِﻙَ “Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan air (mani)nya ke tanaman [35] orang lain” (HR. Abu Dawud dan Ahmad). 4. Sah dengan syarat menikahnya dilakukan setelah wanita melahirkan (istibra’). Didukung oleh Rabi’ah, Sufyan Tsauri, Malik, Auza’ie, Ibnu Syubrumah, Abu Yusuf, dan Abu Hanifah dalam riwayat yang lain (al-Hawi al-Kabir 9/497-498, asy- Syarh al-Kabir 7/502-503). Mereka berpendapat wanita hamil zina memiliki iddah sehingga haram dinikahi sebelum selesai iddahnya. Dalil mereka adalah QS. Ath-Thalaq ayat 4: ﻭَﺃُﻭﻟَﺎﺕُ ﺍﻟْﺄَﺣْﻤَﺎﻝِ ﺃَﺟَﻠُﻬُﻦَّ ﺃَﻥْ ﻳَﻀَﻌْﻦَ ﺣَﻤْﻠَﻬُﻦّ َ “Dan perempuan-perempuan yang hamil itu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan.” Disebutkan juga dalam hadits: ﺃَﻟَﺎ ﻟَﺎ ﺗُﻮﻃَﺄُ ﺣَﺎﻣِﻞٌ ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﻀَﻊَ ﻭَﻟَﺎ ﻏَﻴْﺮَ ﺫَﺍﺕِ ﺣَﻤْﻞٍ ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﺤِﻴﺾَ “Ingatlah, tidak disetubuhi wanita hamil hingga ia melahirkan dan tidak juga pada wanita yang tidak hamil sampai satu kali haidh” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan Ad-Darimi). 5. Sah dengan syarat menikahnya dilakukan setelah wanita istibra’ plus telah bertaubat. Didukung oleh Abu Ubaidah, Qatadah, Ahmad ibn Hanbal, dan Ishaq (al-Hawi al-Kabir 9/492-493, Tafsir Ibnu Katsir 6/9-10). Ibnu Qudamah (Syarhu Kabir 7/504) menjelaskan bahwa sesuai bunyi terakhir ayat 3 surat An-Nur, ‘wa hurrima dzalika ‘alal mukminin’, keharaman menikahi pezina diperuntukkan bagi orang mukmin (yang sempurna). Sehingga ketika telah bertaubat dari zina leburlah dosa, kembali menjadi bagian dari orang-orang mukmin, dan hukum haram baru bisa terhapus. Sebagaimana hadits: ﺍﻟﺘﺎﺋﺐ ﻣﻦ ﺍﻟﺬﻧﺐ ﻛﻤﻦ ﻻ ﺫﻧﺐ ﻟﻪ “Seorang yang telah bertaubat dari dosa itu layaknya tidak ada dosa padanya” (HR. Hakim, Ibnu Majah, Thabrani, dan Baihaqi). Ibnu Umar pernah ditanya tentang seorang laki- laki yang berzina dengan seorang perempuan, apakah boleh dia menikahinya ? Jawab Ibnu Umar, “Jika keduanya telah bertaubat dan keduanya berbuat kebaikan (yakni beramal shalih)” (Al-Muhalla 9/ 475). Dalam hal ini tidak ada perbedaan apakah wanita tersebut dinikahi oleh laki-laki yang menzinai ataupun orang lain. Dari sudut pandang Syafi’iyah karena hamil hasil zina tidak ada kehormatan apapun yang perlu dijaga seperti percampuran nasab. Dari perspektif ulama lainnya karena telah disyaratkan tidak adanya hubungan badan. Tersebut dalam Bughyah: ( ﻣﺴﺄﻟﺔ : ﻱ ﺵ ( : ﻳﺠﻮﺯ ﻧﻜﺎﺡ ﺍﻟﺤﺎﻣﻞ ﻣﻦ ﺍﻟﺰﻧﺎ ﺳﻮﺍﺀ ﺍﻟﺰﺍﻧﻲ ﻭﻏﻴﺮﻩ ﻭﻭﻃﺆﻫﺎ ﺣﻴﻨﺌﺬ ﻣﻊ ﺍﻟﻜﺮﺍﻫﺔ. ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ : ﺑﻐﻴﺔ ﺍﻟﻤﺴﺘﺮﺷﺪﻳﻦ ﺹ419
NA Kami NerashUke sebaiknya secepatnya untuk dinikahi,
sebab jika jarak antara prnikahan dan lahirnya sang anak kurang dr 6 bulan mka anak tsb nasabnya ke ibu, artinya dia tdk punya nasab secara syar'i dan nnti kalo menikah yg menikahkan adalah pihak pemerintah(hakim)
namun jika jarak kelahirannya lbh dr 6 bulan mka ayah yg menikahi ibunya itu mnjadi wali nasab yg sah secara syar'i
ibarot
Ghayatut Talkhis 246
غاية التلخيص: نكح حاملا من الزنا فأتت بولد لزمن إمكان وطئه منه بأن ولدت لستة أشهر ولحظتين من عقده وإمكان وطئه لحقه
[3] بغية المسترشدين ص235 – 236
( مسئلة ي ش ) نكح حاملا من الزنا فولدت كاملا كان له أربعة أحوال إما منتف عن الزوج ظاهرا وباطنا من غير ملاعنة وهو المولود لدون ستة أشهر من إمكان الإجتماع بعد العقد أو لأكثر من أربع سنين من آخر إمكان الإجتماع وإما لاحق به وتثبت له الأحكام إرثا وغيره ظاهرا ويلزم نفيه بأن ولدت لأكثر من الستة وأقل من الأربع السنين وعلم الزوج أو غلب على ظنه أنه ليس منه بأن لم يطأ بعد العقد ولم تستدخل ماءه أو ولدت لدون ستة أشهر من وطئه أو لأكثر من أربع سنين منه أو لأكثر من ستة أشهر بعد استبرائه لها بحيضه وثم قرينة بزناها ويأثم حينئذ بترك النفي بل هو كبيرة وورد أن تركه كفر وإما لاحق به ظاهرا أيضا لكن لا يلزمه نفيه إذا ظن أنه ليس منه بلا غلبة بأن استبرأها بعد الوطء وولدت به لأكثر من ستة أشهر بعده وثم ريبة بزناها إذ الاستبراء أمارة ظاهرة على أنه ليس منه لكن يندب تركه لأن الحامل قد تحيض وإما لاحق به ويحرم نفيه بل هو كبيرة وورد أنه كفر إن غلب على ظنه أنه منه أو استوى الأمران بأن ولدت لستة أشهر فأكثر إلى أربع سنين من وطئه ولم يستبرئها بعده أو استبرأها وولدت بعده بأقل من الستة بل يلحقه بحكم الفراش كما لو علم زناها واحتمل كون الحمل منه أو من الزنا ولا عبرة بريبة يجدها من غير قرينة فالحاصل أن المولود على فراش الزوج لاحق به مطلقا إن أمكن كونه منه ولا ينتقي منه إلا بللعان والنفي تارة يجب وتارة يحرم وتارة يجوز ولاعبرة بإقرار المرأة بالزنا وإن صدقها الزوج وظهرت أماراته
( مسئلة ي ش ) نكح حاملا من الزنا فولدت كاملا كان له أربعة أحوال إما منتف عن الزوج ظاهرا وباطنا من غير ملاعنة وهو المولود لدون ستة أشهر من إمكان الإجتماع بعد العقد أو لأكثر من أربع سنين من آخر إمكان الإجتماع وإما لاحق به وتثبت له الأحكام إرثا وغيره ظاهرا ويلزم نفيه بأن ولدت لأكثر من الستة وأقل من الأربع السنين وعلم الزوج أو غلب على ظنه أنه ليس منه بأن لم يطأ بعد العقد ولم تستدخل ماءه أو ولدت لدون ستة أشهر من وطئه أو لأكثر من أربع سنين منه أو لأكثر من ستة أشهر بعد استبرائه لها بحيضه وثم قرينة بزناها ويأثم حينئذ بترك النفي بل هو كبيرة وورد أن تركه كفر وإما لاحق به ظاهرا أيضا لكن لا يلزمه نفيه إذا ظن أنه ليس منه بلا غلبة بأن استبرأها بعد الوطء وولدت به لأكثر من ستة أشهر بعده وثم ريبة بزناها إذ الاستبراء أمارة ظاهرة على أنه ليس منه لكن يندب تركه لأن الحامل قد تحيض وإما لاحق به ويحرم نفيه بل هو كبيرة وورد أنه كفر إن غلب على ظنه أنه منه أو استوى الأمران بأن ولدت لستة أشهر فأكثر إلى أربع سنين من وطئه ولم يستبرئها بعده أو استبرأها وولدت بعده بأقل من الستة بل يلحقه بحكم الفراش كما لو علم زناها واحتمل كون الحمل منه أو من الزنا ولا عبرة بريبة يجدها من غير قرينة فالحاصل أن المولود على فراش الزوج لاحق به مطلقا إن أمكن كونه منه ولا ينتقي منه إلا بللعان والنفي تارة يجب وتارة يحرم وتارة يجوز ولاعبرة بإقرار المرأة بالزنا وإن صدقها الزوج وظهرت أماراته
EmoticonEmoticon