Thursday, 2 April 2015

Hukum Memakan Makanan Orang Yang Berduka(Kenduri)

Apa hukumnya/dalil
memakan ,makanan orang yg meninggal/tahlil
atau memakan makanan orang yg berduka


Alfaqir Ilaih Dalil jamuan (sedekah) dr keluarga yg berduka. Dari kitab “Al-Hawi lil Fatawi” karya Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi jilid 2 halaman 178 sebagai berikut: ﻗﺎﻝ ﺍﻻﻣﺎﻡ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻓﻰ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﺰﻫﺪ ﻟﻪ : ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻫﺎﺷﻢ ﺑﻦ ﺍﻟﻘﺎﺳﻢ ﻗﺎﻝ : ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺍﻷﺷﺠﻌﻰ ﻋﻦ ﺳﻔﻴﺎﻥ ﻗﺎﻝ ﻗﺎﻝ ﻃﺎﻭﺱ: ﺍﻥ ﺍﻟﻤﻮﺗﻰ ﻳﻔﺘﻨﻮﻥ ﻓﻰ ﻗﺒﻮﺭﻫﻢ ﺳﺒﻌﺎ ﻓﻜﺎﻧﻮﺍ ﻳﺴﺘﺤﺒﻮﻥ ﺃﻥ ﻳﻄﻌﻤﻮﺍ ﻋﻨﻬﻢ ﺗﻠﻚ ﺍﻷﻳﺎﻡ , ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺤﺎﻓﻆ ﺃﻟﻮ ﻧﻌﻴﻢ ﻓﻰ ﺍﻟﺠﻨﺔ: ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﺑﻰ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻫﺎﺷﻢ ﺑﻦ ﺍﻟﻘﺎﺳﻢ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺍﻷﺷﺠﻌﻰ ﻋﻦ ﺳﻔﻴﺎﻥ ﻗﺎﻝ: ﻗﺎﻝ ﻃﺎﻭﺱ: ﺍﻥ ﺍﻟﻤﻮﺗﻰ ﻳﻔﺘﻨﻮﻥ ﻓﻰ ﻗﺒﻮﺭﻫﻢ ﺳﺒﻌﺎ ﻓﻜﺎﻧﻮﺍ ﻳﺴﺘﺤﺒﻮﻥ ﺃﻥ ﻳﻄﻌﻤﻮﺍ ﻋﻨﻬﻢ ﺗﻠﻚ ﺍﻷﻳﺎﻡ Artinya: “Telah berkata Imam Ahmad bin Hanbal ra di dalam kitabnya yang menerangkan tentang kitab zuhud: Telah menceritakan kepadaku Hasyim bin Qasim sambil berkata: Telah menceritakan kepadaku al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: TelaH berkata Imam Thawus (ulama besar zaman Tabi’in, wafat kira-kira tahun 110 H / 729 M): Sesungguhnya orang- orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut.

NA Kami NerashUke Boleh, karena itu shodaqoh yg sgt bermanfaat bg mayit
-DALIL DARI ULAMA AHLUSUNNAH
kitab “Al-Hawi lil Fatawi” karya Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi jilid 2 halaman 178 sebagai berikut:


قال الامام أحمد بن حنبل رضي الله عنه فى كتاب الزهد له : حدثنا هاشم بن القاسم قال: حدثنا الأشجعى عن سفيان قال

قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام , قال الحافظ ألو نعيم فى الجنة: حدثنا أبو بكر بن مالك حدثنا عبد الله بن أحمد بن حنبل حدثنا أبى حدثنا هاشم بن القاسم حدثنا الأشجعى عن سفيان قال: قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام

Artinya:
“Telah berkata Imam Ahmad bin Hanbal ra di dalam kitabnya yang menerangkan tentang kitab zuhud: Telah menceritakan kepadaku Hasyim bin Qasim sambil berkata: Telah menceritakan kepadaku al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: TelaH berkata Imam Thawus (ulama besar zaman Tabi’in, wafat kira-kira tahun 110 H / 729 M): Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut.

dalam kitab yang sama jilid 2 halaman 194 diterangkan sebagai berikut:

ان سنة الاطعام سبعة أيام بلغنى أنهامستمر الى الأن بمكة و المدينة فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة الى الأن و انهم أخذوها خلفا عن سلف الى الصدر الأول

ِArtinya:
“Sesungguhnya, kesunnahan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku sampai sekarang (yaitu masa Imam Suyuthi abad ke-9 H) di Mekkah dan Madinah. Yang jelas kebiasaan tersebut tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat sampai sekarang, dan tradisi tersebut diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama, yaitu sahabat.


NA Kami NerashUke dan dari ulama non ahlusunnahpun juga memperbolehkan

pernyataan Syaikh Ibnu Baz dalam kitabnya Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah:

أَمَّا إِذَا صَنَعُوْا ذَلِكَ فَلاَ بَأْسَ لأَنْفُسِهِمْ أَوْ لِضُيُوْفٍ نَزَلُوْا بِهِمْ فَلاَ بَأْسَ .
Adapun apabila mereka (keluarga si mati) membuat makanan untuk diri mereka, atau untuk tamu mereka yang singgah, maka hukumnya tidak apa-apa (tidak haram, tidak bid’ah dan tidak makruh). (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, Ibnu Baz, juz 7 hal. 431).
وَلاَ حَرَجَ عَلَيْهِمْ (اَيْ أَهْلِ الْمَيِّتِ) أَنْ يَصْنَعُوْا لأَنْفُسِهِمْ الطَّعَامَ الْعَادِيَ لأَكْلِهِمْ وَحَاجَاتِهِمْ وَهَكَذَا إِذَا نَزَلَ بِهِمْ ضَيْفٌ لاَ حَرَجَ عَلَيْهِمْ أَنْ يَصْنَعُوْا لَهُ طَعَامًا يُنَاسِبُهُ لِعُمُوْمِ اْلأَدِلَّةِ فِيْ ذَلِكَ
Dan tidak ada kesulitan (tidak ada larangan) bagi keluarga si mati untuk membuat makanan sehari-hari bagi makan dan keperluan mereka. Demikian pula apabila ada tamu yang singgah kepada mereka, tidak ada larangan bagi mereka membuat makanan yang layak bagi tamunya, karena keumuman dalil-dalil dalam hal tersebut. (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, Ibnu Baz, juz 9 hal. 319).
 
 

Advertisement


EmoticonEmoticon